A story about" Gue & Durian"

Brrrr….. Disini dingin banget oi! Sweaterku kurang tebal kali ya?! Alamak begini nih nasib anak yang nggak nurutin omongan emaknya. Maksudku, omongan Bunda gitu. Kemarin Bunda sudah pesan supaya aku bawa sweater double, tapi nggak kuturutin. Brrr…. Aku makin nggak kuat tiupan angin dingin ini. Eit, tunggu bunyi apaan tuh? Krucuk…krucuk...krucuk…. Eh cilaka, aduh……..duuuuut…. Bah! Bau banget! Sialan, bom atomku keluar juga! Mendingan aku kabur sebelum sobat-sobatku teriak cari kambing hitam bau bom atom ini. Ngaciiiir…….!

“Ami…!” jeritan Jenny langsung kudengar. “Anjiir, bau banget, pasti Ami nih! Mana tuh anak?!” kali ini Rani berteriak histeris. “Busyet dah, hoek!” itu teriakan Indi terdengar dari dalam vila. Lari kencanglah aku, sekencang-kencangnya menjauhi vila itu. “Ha, ha, ha.. mampus deh kalian” begitu umpatku dalam hati. “Siapa suruh gue makan durian pagi-pagi!”.

Durian adalah makanan terindah bagi penggemarnya di seantero dunia, seperti juga bagi Ayahku yang ganteng dan Bundaku yang manis di rumah, plus sobat-sobat centilku Jenny, Rani dan Indri. But for me? Yackkss! I hate it! Tapi gara-gara kebencianku yang begitu besar pada buah bulat berduri dan berbau menyengat itulah, aku dikerjai sobat-sobatku pagi ini.

Sambil berlari menjauh, melintas di memoriku keceriaan kami (the gang of four: aku, Rani, Jenny dan Indri) saat menuju vila milik orangtua Rani di Ciwidey ini. Baru tadi malam kami tiba, dan upacara penerimaan tamu pun sudah siap menyambut kami di vila ini. Mbok Jah, sang penunggu setia vila ini sudah menyiapkan makanan malam plus durian….! Arrggghhh, tidak! Tapi mau bilang apa, aku kan cuma tamu. Masalah terbesar adalah Rani sang putri raja pemilik vila ini sangat doyan makan durian. Zac Efron dari High School Musical pun bakal dicuekin dah! Demi sebuah durian bo!

Malam itu aku masih bisa menghindar dari serangan durian. Perut yang sudah kenyang cukup jadi tameng untuk tidak menyantap buah menakutkan itu. Berhubung perjalanan Jakarta - Ciwidey cukup jauh, maka perut-perut kosong kami pun dengan liar berontak. Harum ayam goreng buatan mbok Jah, membuat gelora perut kami makin liar. Dan dalam sekejap habislah 3 ekor ayam goreng yang malang itu. Betul-betul liar, dan untungnya nggak ada cowok ganteng di situ yang biasanya membuat kami jaim cara makannya. Sikat habis lah! Mbok Jah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkat kami. Kalau di film kartun pasti di atas kepala mbok Jah ada balon berisi pikirannya, kira-kira begini nih: “Please deh ah, cewek-cewek ini nggak makan seminggu kali ya?”. Ting, ting, ting. Tapi setelah itu, balonnya berubah, isinya mungkin begini: “Wow, tapi berarti masakanku ueenaaak tenan? Bisa bikin warung makan ayam goreng dong!”. Tapi kenyataannya mbok Jah hanya menatap kami dengan sendu.

Teng, teng, teng,.….jam kuno di vila itu berdentang 10 kali. Kami pun terkapar di sofa, dengan perut buncit kekenyangan. Habis sudah 3 ekor ayam goreng itu kami kubur dalam perut kami. Kemungkinan besar saudara-saudara para ayam itu sedang tahlilan sekarang, mendoakan arwah para ayam itu agar tenang. Amin.

“Perutku sesak” desah Indri. “Gue juga neh” sambut Jenny. Sedangkan aku dan Rani hanya bisa mendesah “Iyaaaa….”. Tiba-tiba, gubrak…! Suara jendela terbanting membuat kami terlempar dari sofa. Dan setelah itu terdengar jeritan histerisku, “Tidaaaaak…..!”. Mboh Jah dengan anggunnya berjalan mendekati kami membawa sebaskom durian. Mata ketiga sobatku berbinar-binar sejenak, mengagumi langkah anggun mbok Jah layaknya langkah-langkah kaki di sinetron yang dibuat slow motion. Mereka menarik nafas dalam-dalam mencium bau buah keramat itu, yang terbawa oleh tiupan angin yang membanting jendela tadi. Sementara aku? Menyeringai seperti srigala yang marah, sama seperti jendela yang membanting dirinya karena bau durian itu. Akh!

Tapi malam itu Tuhan betul-betul menyintaiku. Tiba-tiba Rani berguling dan memegang perutnya. “Aduh mbok, aku kekenyangan, pengen duriannya tapi nggak muat lagi. Pleaseee….”. Bagaikan virus, gadis-gadis centil lainnya pun mengerang dengan keluhan sama. Aku? Ha..ha..ha..ha….terbebas dari neraka jahanam! Mboh Jah seperti kodratnya selama ini, kemudian melemparkan senyum sendunya, “Ya sudah, mbesok aja ya den”. Alhamdulillah.

“Aduh..!!” tiba-tiba tubuhku terasa melayang tanpa kendali. Aku pun tersadar dari lamunanku. Aku berusaha menahan tubuhku, tapi apa daya tangan tak sampai, eh maksudnya nggak bisa. Tubuhku terdorong ke depan melaju kencang menuju bebatuan dan kerikil di jalanan yang menyeringai menyambutku. Refleks kuajukan tanganku untuk menahan agar mukaku yang dasarnya memang sudah tidak cantik ini untuk tidak jatuh di batu-batu jalanan. Gedebuk…! Aku terpeleset. Badanku yang lumayan semok ini mendarat dengan sukses di atas jalanan desa ini. Mendarat dengan siku terlebih dulu. “Aduuh perih, sakiiiit”, aku pun menyeringai dengan perihnya. “Bunda tanganku sakit. Hu..hu..hu..Bunda kemana? Tolongin aku Bunda”. Sebetulnya melintas juga di kepalaku senyum dan tatapan mata biru Zac Efron. “Ah, coba dia ada di sini. Pasti gue digendong deh”. Namanya juga masih syok abis jatuh, boleh donk aku berkhayal.

Tuhan memang menyintaiku. Belum hilang bayangan Zac, sebuah tangan menjulur kearahku. Sebuah tangan berotot, berkulit gelap, tiba-tiba meraih tubuhku. Aku pingsan kali ya? Kok Zac Efron kulitnya hitam sih? Tangan kuat itu berhasil meraihku untuk berdiri, dan dihadapanku berdirilah sosok laki-laki jantan dengan dada telanjangnya. Ups! Ternyata bukan Zac! Emang bukan, mimpi kali. Eh, tapi manis juga. Dua bola mata berwarna gelap itu menatap tajam padaku. Jadi risih deh aku. “Kamu nggak apa-apa?”, tanyanya dengan suara berat. “Wah suaranya seksi bo!”, jeritku dalam hati tentuku. Masih terbengong dengan kehadiran pangeran di depanku, aku cuma bisa mengangguk. “Tangan neng luka, mau diobatin?”, tanya pangeran itu. “Mau, mau, mau banget!” jeritku dalam hati lagi. Belum sempat bibirku menjawab, pangeran berdada telanjang itu menggandengku menuju sebuah saung. Aku, bagaikan kerbau dicocok hidungnya mengikutinya. Mungkin antara sadar dan tidak sadar. Masih kepengen ada Zac, tapi kok yang ada hitam manis. Ah, gara-gara lari dari tanggungjawab kentut, nasib aku jadi baik, nemu cowok manis.

Aku pun tersenyum mengingat sobat-sobatku di vila. Lamunanku pun datang menyerang kembali. Tadi malam aku terselamatkan dari upaya mereka meracuniku dengan buah durian jelek itu. Tapi pagi harinya Tuhan tidak menyintaiku. Setelah sarapan, Rani dengan hebohnya mencari durian kesayangannya. Dengan rakusnya mereka melanjutkan sarapan dengan hidangan penutup. Menu hidangan penutup teraneh di dunia yang pernah kulihat selama hidupku. Tentu saja aku nggak mau ikutan. Kata Bunda jadi orang itu harus teguh pendiriannya, termasuk berpendirian nggak mau makan durian, gitu loh!

Tapi entah setan mana yang bergentayangan di vila itu dan meracuni pemikiran sobat-sobatku. “Ih, nggak seru tauk. Masa Ami nggak ikutan pesta durian sih!” kata Jenny. Tambah lagi mulut cerewet Rani berkicau, “Egois lu, kita kesini kan mau senang-senang bareng!”. Nggak dinyana sobatku terhalus Indri sang putri malu juga ikut komentar, “Iya Ami, cobain deh. Ini enak kok”. Rani tiba-tiba melompat duduk di sebelahku dengan tangannya yang masih belepotan memegang satu biji durian. “Ami cantik, kata nyokap gue, lu bakal nyesel kalau mati sebelum makan durian”. Arghhhhh! Hadist darimana tuh!

Pagi itu mereka memaksaku bermain monopoli, permainan favorit kami, tapi dengan hukuman yang paling menyebalkan. Siapa yang kalah harus mau makan durian. Oh my God, please deh ah! Tapi pagi itu hujan, so we have nothing to do. I have no choice. Tapi kupikir aku bisa menghindari kekalahan, aku jago monopoli kok. Dadu pun dilempar berkali-kali, jantungku berdetak kencang mengikuti suara bergelindingnya dadu itu. Kartu monopoli pun diambil satu per satu. Dan kali ini Tuhan juga tidak menyintaiku. Entah racun apa yang dihasilkan oleh durian, yang jelas sobat-sobatku bermain gemilang. Layaknya Utut Adiyanto pemain catur kelas dunia, mereka melangkah serius dan mantap. Semantap bau durian.

Kata Ayahku yang ganteng, nasib manusia memang tidak menentu, seperti roda yang bergerak, kadang ada di atas, kadang ada di bawah. Detik itu nasibku sedang di bawah. Mau tidak mau karena Srikandi dan Wonder Woman adalah idolaku, maka aku harus bersikap ksatria, menuruti kesepakatan yang sudah ditetapkan. Buah lembek berbau menyengat itu akhirnya berteriak kegirangan meluncur di kerongkonganku. Mungkin mereka anggap kerongkonganku adalah perosotan di Water Boom Park, jadi mereka bergantian meluncurinya. Jangan tanya rasanya! Lebih sakit dibandingkan waktu Dani memutuskan hubungan kami. Lebih menakutkan dibandingkan rasa takutku terhadap kemarahan Bunda akibat nilai merahku matematika di raport. Penderitaanku berakhir saat durian ke delapan kutelan. Kata Babah Liem tetanggaku, delapan adalah angka hoki atau keberuntungan. Memang betul, karena setelah durian ke delapan, nafsu besar sobat-sobat terlampiaskan. Indi menangis melihatku, dan akhirnya berhentilah penyiksaan itu.

“Aduh!” aku kesakitan sewaktu Jaka menyentuh lukaku. Namun tidak seperih saat durian masuk ke kerongkonganku. Aku pun tersadar dari lamunanku. Singkatnya Jaka membersihkan lukaku dengan kain basah miliknya. Maklum di tengah kebun mana ada obat merah sih. Kami pun berkenalan. Namanya Jaka, penduduk asli di sekitar vila, pekerjaannya membantu orangtuanya mengurus kebun kecil miliknya. Aku dilahirkan sebagai manusia tercerewet di dunia, belum lagi Jaka bertanya lebih lanjut, aku sudah memborbardirnya dengan perjalanan sejarah bagaimana sampai aku tersungkur di jalanan tadi.

Kuceritakan bahwa semuanya berawal dari sebuah durian. Gara-gara makan delapan buah durian itu, perutku berontak seperti para eyang, pakde, dan bude tentara Indonesia jaman penjajahan Belanda dulu. Berontak dari cengkeraman serangan durian. Malangnya perutku. Akhirnya tidak dapat dielakkan pabrik gas pun dalam sekejap dibangun dalam perutku, dan alhasil aku pun menjadi penghasil gas terbesar di vila tersebut. Dan baunya minta ampun. Karena itulah aku lari sebelum sobat-sobatku tercinta mengeroyokku. Buah pujaan banyak manusia itu, kubenci sejak kecil. Jaka dengan tatapan matanya yang dalam menatapku, seakan memintaku untuk mengatakan KENAPA. Ya, kenapa kamu benci durian Ami?

Suasana romantis di saung itu, hembosan angin yang sepoi-sepoi membuatku mau membuka luka lama. Beberapa belas tahun lalu, adalah awal cerita aku berhubungan dengan durian.

Suatu sore di Solo, rumah Eyang. Ayah, Bunda dan Eyang sedang menyantap durian hasil kebun Eyang. Usiaku belum genap dua tahun. Aku berlari-lari kecil menuju teras joglo Eyang tempat mereka makan. Aku melongo melihat kelahapan mereka makan. Buah durian itu belum pernah kulihat sebelumnya. Dan baunya….“Hmm, halum cekali”, kataku saat itu. Bunda dengan penuh kasih sayang meraihku dan memangkuku, “Ami mau coba makan buah ini sayang? Jangan banyak-banyak ya, cicipi sedikit saja”. Satu cuil durian disuapkan padaku. “Hmmm…enak cekali Bunda. Mau lagi! Mau lagi!” teriakku sambil bertepuk tangan. Akhirnya beberapa suap pun masuk ke mulut mungilku. Karena aku begitu bersemangat, mereka memperbolehkanku memegang satu buah durian dan memakannya sendiri. Karena jenisnya adalah durian Petruk maka bijinya sangatlah kecil. Jadi bukan salahku kalau biji itu tertelan. Bunda menjerit begitu melihat biji durian itu tertelan. Tapi wajahku yang polos dengan lidah yang sibuk menjilat sisa-sia durian di jari-jariku, membuat Bunda tidak marah. Eyang berkata, “Wah Ami ternyata doyan durian, sampai-sampai bijinya juga dimakan”. Bunda tertawa sambil berkata, “Hati-hati lo Ami, nanti bijinya tumbuh jadi pohon di atas kepala Ami”. Semuanya tertawa terbahak-bahak mendengar Bunda. Sampai-sampai Ayah tersedak saat sedang minum. Eyang kakung memegang perutnya yang kesakitan akibat tertawa kegelian.

Aku? Dengan mulut menganga aku mendengar dan melihat adegan tawa tersebut. Pucat pasi wajahku. Aku membalikkan tubuhku. Lari. Masih tergiang tawa mereka menggema menusuk telingaku saat aku berlari menuju kamarku menginap. Hening. Sunyi.

“Ami! Kemana ya Ami?”. “Cah ayu kamu ada dimana?”. “Anak cantik, kok ngilang sih?”. Suara- Bunda, Ayah dan Eyang mencariku. Aku makin meringkuk bersembunyi diujung kamarku. Kututup telinga, sambil meneteskan air mata yang tak hentinya mengalir sejak tadi dalam kesunyian. Suara pintu berderit, dan akhirnya Bunda pun menemukanku. “Lo, ada apa sayang, kok ngumpet disini? Ami kok nangis?”

“Hua…hua..hu..hu..hu..,” pecahlah tangisku begitu Bunda merengkuhku. Tangisku makin menjadi-jadi menggegerkan rumah Eyang yang begitu luas dan mengundang Ayah, Eyang, Mbok Siji, Mbah Mono dan tidak ketinggalan si Tole pembantu eyang terkecil tergopoh-gopoh mendatangi kamarku. “Ada apa?!”. “”Ami sakit ?!”. “Ami jatuh?!”. Ami kesambet opo tho?”. “Coba lihat ada lukanya nggak!!”. “Opo, ono setan tho?”. Semua bertanya-tanya mengelilingi diriku yang masih histeris di pelukan Bunda. “Ami boleh nangis, tapi bilang ada apa supaya Bunda bisa bantu ya.”

“Hua…hu..hu…Ami nggak mau becok ada pohon tumbuh di kepala Ami!! Takut!! Nggak mau ada pohon di kepala Ami!! Ditebang aja!! Kelualin bijinya dali peyutku! Hu..hu..”….. Hening……Mereka melongo. Kemudian pecahlah tawa mereka. Sejak itulah aku menabuh genderang perang dengan durian! Sampai kapan pun, sampai titik darah penghabisan!

Jaka pun melongo….hening… Ah tidak, Jaka pun tertawa! Tapi kalau Zac Efron pasti nggak akan ketawa. Kan dia nggak tau durian!


(May 2008)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "A story about" Gue & Durian""

Post a Comment