Selintas cerita: Setahun yang lalu dia duduk di depanku. Menatapku dengan percaya diri. Setahun kemudian, detik ini, dia duduk di depanku. Menatapku dengan nanar. "Apa salahku?" itu kalimat yang terbaca dari matanya. Aku pun gelisah menjawabnya. "Yaaah, apa salahmu?" aku pun mendesah dalam hati.
Setahun yang lalu. Mata itu menatapku dengan percaya diri. Sorot matanya tidak tajam, namun menghujam balik sorot mataku. Semakin dalam kutatap, kekeruhannya makin menyelimuti mata itu. Lelah. Lelah, namun masih menyimpan api yang membara dalam dirinya.
Api itu pun makin membara dari menit demi menit, meniti jalan cerita kehidupannya. Sebuah cerita kehidupan pun mengalir dengan lancar dari bibirnya. Anganku melayang, membawaku pada kehidupannya 23 tahun yang lalu di ujung Timur pulau Jawa.
Muda, penuh harapan dan cita. Terbayang sesosok pemuda sedang merajut mimpinya selesai sekolah menengah atas. Angannya begitu tinggi seperti layaknya pemuda lainnya. Mimpinya tak terbendung untuk menapakkan kakinya di sebuah jengkal tanah bernama "Kampus", untuk menyandang nama baru sebagai "Mahasiswa". Namun mimpi tinggal lah mimpi. Tuhan tak selamanya mencintai dirinya. Mimpi itu benarlah sebuah mimpi yang hilang begitu ia bangun. Ia terbangun setelah sang bapak dan ibu mengelus kepalanya sambil berkata, "Aku ora nduwe duwit. Kowe ora iso kuliah. Adekmu isi akeh. Aku njaluk pengertun pun, cah bagus......"*
Mimpi itu pun melayang, seiring menetesnya air mata sang ibu, senada helaan nafas berat sang bapak. Matanya pun terpejam, seakan mengubur mimpi indahnya. Namun sejatinya ia adalah manusia heroik. Mata itu pun terbuka kembali. Ia berdiri dengan gagah, sembari berkata, "Ora usah dipikir pak, bu. Aku iso kerja, aku sing nggolek duwit kanggo adek-adek sekolah. Bapak karo ibu mesti leren".**
Sejak detik itu, ia pun mengubur dalam-dalam mimpinya. Jejak kakinya pun menapaki tempat demi tempat, kantor demi kantor, untuk meraih sebuah kata bernama "pekerjaan". Tak semudah yang dibayangkan, ternyata untuk meraih pekerjaan itu pun tidaklah mudah. Ia bukanlah pemilih, ia adalah seseorang dengan jiwa pasrah yang besar. Apapun ia sanggupi. Mengayuh becak pun aku tak malu, begitu gumamnya. Menjadi kuli pun aku rela, begitu desahnya. Tak pernah terbayang rasa malu bertemu dengan rekan-rekannya semasa SMA. Di angannya hanya ada sederet kata ini: "Aku harus bekerja untuk mereka!". Namun sekali lagi Tuhan masih belum mencintainya. Peluh dan emosi yang ia cucurkan belumlah cukup menghidupi keluarganya.
Sorot matanya menatap tajam menembus awan di langit yang mendung. Api dalam dirinya terus bergerak senada dengan adrenalin dirinya yang terpacu oleh kebuntuannya mencari. Api itu pun makin membara dalam dirinya. "Aku harus bisa!", begitu teriaknya pada langit di setiap hari di tepi sungai yang sepi di desanya. Api itu pun makin membara saat seseorang mengajaknya menjajal jiwanya ke pulau harapan bernama "Pulau Batam".
"Tanah Jawa ini sudah tak memberiku harapan," begitu kesahnya yang membuatnya membulatkan tekad menuju pulau harapan. Seseorang tersebut memberikan sebuah predikat sebagai office boy. Ah apalah artinya nama, begitu katanya. Terpenting baginya adalah bekerja, menghasilkan uang, mengirimkannya pada Bapak, Ibu dan adik-adik. Titik.
Ternyata titik itu tidaklah berhenti. Titik itu ternyata hanyalah sebuah koma. Sebuah koma yang bersambung cerita kehidupannya yang lain. Perusahaan tempat ia bekerja terpaksa bangkrut. Ia pun ikut bangkrut. Tak bisa lagi tangannya menengadah meminta gaji bulanan. Tak bisa lagi ia mengirimkan hampir seluruh gajinya ke tanah Jawa.
Ia pun hidup menggelandang dengan segenap harapannya. Di tepi jalan itu, sorot matanya menghujam tajam pada sebuah rumah makan. Sudah genap seminggu ia tidak makan. Bau nan sedap dari rumah makan itu mengundang langkahnya setapak demi setapak. Di langkah terakhir tubuhnya terhuyung ke depan. Gelap.
"Mungkinkah Tuhan mencintaiku?", begitu desahnya. "Ah, bukankah itu malaikat?", begitu gumamnya. Sekelabat bayangan putih duduk disampingnya, memegang tangannya. Bayangan putih itu berkata, "Tuhan mencintaimu nak." Ia pun ingin memberontak dan berkata tidak. Namun ia tak mampu meronta. Perlahan matanya terbuka, bayangan putih itu masih ada. Perlahan kesadarannya pun menghampirinya.
Bayangan putih itu pun berkata, "Kamu baik-baik saja? Tuhan mencintaimu dan melindungimu nak". Sejak saat itu bayangan putih itu pun memberinya kehidupan, bernama sebuah pekerjaan baru. Bayangan putih itu bukanlah malaikat, namun tidak baginya, bayangan itu tetaplah malaikat baginya. Malaikat yang memberinya kembali kehidupan baginya maupun bagi keluarga di tanah Jawa sana.
Rumah makan itu pun menjadi rumahnya. Meja demi meja dilayaninya dalam ritme hidupnya, dalam ritme dan irama dentingan piring dan sendok setiap harinya. Menjadi seorang pelayan menjadi kehidupannya yang baru. Tak ada kata lelah dalam hidupnya yang baru. Raganya bergerak sekeras mungkin, gairahnya menggelora begitu besar, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.
(Bersambung)
Catatan:
* "Aku ora nduwe duwit. Kowe ora iso kuliah. Adekmu isi akeh. Aku njaluk pengertun pun, cah bagus......" artinya "Bapak tidak punya uang. Kamu tidak bisa kuliah. Adikmu masih banyak. Bapak mohon pengertianmu, anak cakep..."
** "Ora usah dipikir pak, bu. Aku iso kerja, aku sing nggolek duwit kanggo adek-adek sekolah. Bapak karo ibu mesti leren" artinya "Bapak & Ibu tidak kepikiran. Aku bisa bekerja, aku yang akan mencari uang untuk sekolah adik-adik. Bapak & ibu harus istirahat"
Belum ada tanggapan untuk "Kegigihan Tak Selalu Berarti Keberhasilan (1)"
Post a Comment