TENTANG REUNI PERAK ITU (1)

Akhirnya jadi juga ikut reuni perak. Yup, reuni perak yang artinya Saya sudah melewati waktu sebanyak 1/4 abad sejak menjejakkan kaki di Bulaksumur sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UGM. Tua betul yaaaa.........

21-22 Oktober 2011 akhirnya reuni berjalan dengan penuh kegilaan...........mau lagiiii! Salah satu acara adalah talkshow, dan kebetulan jadi korban untuk jadi narasumber. Berikut ringkasan cuap-cuapnya:..... Sebetulnya agak haram posting tulisan ini disini karena blog ini harusnya bersih dari noda-noda rutinitas pekerjaan. Tapi berhubung reuni perak cuma sekali, ya sudahlah.......hayuuuk diposting aja...

Untuk detil silahkan klik di http://psikologiugm86.blogspot.com/



"LULUSAN PSIKOLOGI MENJADI ENTREPRENEUR? KENAPA TIDAK!"


Halo Bulaksumur! Saya harus memulai tulisan ini dengan menorehkan satu kata yang sangat bermakna dalam kehidupan Saya: “Bulaksumur”. Di tempat itulah Saya merasakan tempaan dan dilepas untuk memulai perjalanan profesi Saya untuk menjadi seseorang seperti saat ini.

Adalah sangat relatif untuk mengartikan menjadi seseorang tersebut. Apakah Saya atau Anda harus menjadi Direktur? Harus menjadi Profesor? Atau menjadi Ratu Rumah Tangga? Sudah barang tentu kita akan memilih yang terbaik sesuai mimpi kita masing-masing. Terlepas dari apa yang sudah kita rencanakan, ada kalanya kenyataan menjadi seseorang adalah tidak selalu sesuai dengan mimpi-mimpi kita.

Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pengalaman pribadi Saya selama 20 tahun mengarungi dunia profesional menyimpulkan bahwa faktor hard competency, soft competency dan jalan hidup merupakan 3 faktor utama yang menentukan hal tersebut. Jika Saya merujuk pada iceberg theory yang dikemukakan oleh Mc Clelland, maka kita dapat melihat bahwa komponen-komponen dalam soft maupun hard competency berupa self image, value, trait, perilaku, pengetahuan dan ketrampilan dibentuk oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan yang salah satunya adalah pendidikan.

Karena itulah peran Univertas Gadjah Mada (UGM) sebagai salah satu tempat pendidikan tinggi menjadi begitu besar dalam kehidupan Saya dan seharusnya demikian pula dengan semua mahasiswa UGM. Banyak hal yang sudah Saya dapatkan dalam era kehidupan Saya sebelum kuliah, yang dipertajam oleh kesempatan dan tangan-tangan pembimbing selama Saya hidup di Bulaksumur. Saya tidak dapat menyangkal bahwa self image Saya terbentuk makin jelas dengan datangnya berbagai kesempatan untuk menunjukkan potensi diri selama Saya belajar di Fakultas Psikologi UGM maupun di Gelanggang Mahasiswa UGM sebagai fakultas kehidupan diri Saya lainnya. Saya harus mengakui bahwa social value dalam diri Saya terbentuk sejak Saya mengenal jiwa kegadjahmadaan yang merakyat, yang terus terbawa hingga detik ini. Pengetahuan yang sangat membantu Saya menjadi konsultan yang mampu mendesain alat ukur sendiri pun diperoleh melalui tempaan tangan-tangan pendidik di Fakultas Psikologi UGM.

Ada satu hal yang belum Saya singgung yaitu faktor jalan hidup atau biasa disebut sebagai nasib. Satu kata yang tidak ilmiah untuk dibahas namun merupakan kenyataan yang harus diterima kita sebagai manusia. Jujur Saya tidak pernah memimpikan diri Saya untuk menjalani profesi di dunia psikologi industri, namun jalan hidup membawa Saya menuju profesi tersebut dan saat ini sangat menikmatinya secara lahir dan batin. Pada awalnya, mimpi Saya untuk berkarir di dunia international NGO dengan menerapkan psikologi sosial terhempas karena masalah pribadi. Namun Saya bersyukur bahwa Fakultas Psikologi UGM telah menyiapkan Saya untuk menjadi generalist yang memiliki cadangan ilmu, sehingga Saya pun mampu dengan segera melakukan pendaratan yang mulus di dunia psikologi industri sejak 1991 dan kemudian beralih menjadi enterpreneur di dunia yang masih terkait dengan psikologi industri sejak 1998. Saya memulai kiprah sebagai enterpreneur di bidang jasa manajemen dan pengembangan SDM dengan modal Rp 3,500,000,- dan awalnya hanya berkantor di ruang tidur pribadi Saya, yang sekarang berkembang dengan cakupan layanan pada klien perusahaan dalam negeri maupun perusahaan asing dan mampu berkompetisi dengan worldwide consultant.

Saya tampil di talkshow ini sebagai representasi rekan-rekan angkatan 86 yang berprofesi sebagai entrepreneur, suatu profesi yang kembali harus jujur Saya akui, tidak Saya rajut dalam mimpi-mimpi Saya sebelumnya. Dalam talkshow Saya melemparkan satu pertanyaan khusus pada adik-adik mahasiswa yang hadir saat itu: “Siapa yang berminat menjadi entrepreneur?”. Dan sesuai perkiraan Saya tidak sampai 10% dari mereka mengacungkan tangannya. Ini adalah kenyataan di Indonesia bahwa minat untuk menjadi entrepreneur tidak tumbuh atau tidak ditumbuhkan sedari dini. Produk pendidikan tinggi di Indonesia pada umumnya merupakan tipikal pencari kerja bukan pencipta kerja. Data penunjang mengenai hal ini dapat dilihat dari jumlah entrepreneur di Indonesia yang hanya sebesar 0,24%* dari jumlah penduduk, di bawah dari jumlah entrepreneur di Malaysia yang mencapai 3%, Singapura 7% dan terlebih lagi dibandingkan Jepang yang mencapai 10% dan Amerika Serikat yang mencapai 11,7%*. Sementara Mc Clelland menyatakan bahwa untuk mencapai kebangkitan ekonomi suatu negara, dibutuhkan minimal 2% dari penduduknya berani menjadi entrepreneur yang akan menciptakan kesempatan kerja dan kemudian membantu menggerakkan ekonomi.

Dari data di atas tergambar jelas bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak orang yang berani menjadi entrepreneur. Dan tentunya ini juga menjadi salah satu tugas UGM sebagai salah satu pencetak manusia-manusia Indonesia yang unggul, termasuk juga tugas Fakultas Psikologi UGM. Untuk lebih meruncingkan pembahasan kita, Saya ingin memunculkan pertanyaan tentang: kapan sebaiknya seorang lulusan Fakultas Psikologi menjadi entrepreneur? Apakah begitu ia lulus atau setelah ia menjajal dunia kerja sebagai profesional?

Saya merupakan contoh tipikal yang menempuh cara kedua, yaitu tipikal yang memberanikan diri menjadi entrepreneur setelah 7 tahun menjajal dunia kerja sebagai profesional. Titik hidup Saya berbalik 1800 di tahun 1998 saat Saya memutuskan untuk membuang kenyamanan sebagai profesional yang mapan di suatu perusahaan beralih menjadi entrepreneur yang masuk ke hutan belantara persaingan bisnis yang beresiko.

Bagaimana dengan tipikal yang menempuh cara pertama, yang begitu lulus langsung menjadi entrepreneur? Berangkat dari kurikulum dan tujuan pendidikan Fakultas Psikologi yang bertujuan akhir mencetak profesi psikolog, menurut hemat Saya sebaiknya sedari dini mahasiswa Psikologi disiapkan untuk menjadi entrepreneur, baik secara karakter maupun ketrampilan. Hal ini juga semestinya dilakukan untuk pendidikan profesi lainnya seperti Akuntan, Farmakolog, Dokter dan lain-lain. Mereka ini adalah mahasiswa yang seharusnya lebih banyak ditempa dibandingkan dengan mahasiswa fakultas lain untuk menjadi entrepreneur. Pertanyaannya: mungkinkah seorang lulusan Fakultas Psikologi yang masih fresh graduate menjadi entrepreneur?

Untuk menjawab hal tersebut Saya ingin berbagi mengenai apa yang dibutuhkan untuk menjadi entrepreneur. Secara mikro pengalaman 13 tahun sebagai entrepreneur khususnya di dunia jasa konsultan manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia, membuat Saya dan teman-teman di PT Asta Brata Swastika (Ab Consultant) menyimpulkan bahwa untuk menjadi entrepreneur yang berhasil dibutuhkan beberapa karakter yang disebut sebagai 4C yang terdiri dari* :
•Courage
•Commitment
•Capability
•Cooperativeness


COURAGE & COMMITMENT
Seorang lulusan Fakultas Psikologi perlu memahami bahwa entrepreneurship adalah dunia yang lebih ganas dibandingkan dunia sebagai profesional yang bekerja di perusahaan. Dunia ini adalah ajang rally dimana kita harus berkompetisi ketat. Untuk bisa ikut dalam rally tersebut, seseorang harus memiliki Courage dan Commitment. Dalam rally tersebut banyak hal yang tidak pasti akan terjadi, sehingga jika ia tidak memiliki Courage yaitu rasa percaya diri dan keberanian berkompetisi yang kuat sebaiknya ia tidak menjadi enterpreneur.
Selain itu ia juga harus memiliki Commitment yang kuat untuk mencapai finish atau mencapai targetnya dengan berhasil. Akan banyak tikungan tajam yang menghadang dan mungkin juga upaya saling menjatuhkan demi mencapai finish pertama. Untuk itulah komitmen dan keteguhan dibutuhkan. Bila hanya sekedar ingin mencoba rally sebaiknya ia tidak menjadi enterpreneur, karena hal tersebut hanya membuang waktu, tenaga, emosi dan dana.


CAPABILITY & COOPERATIVENESS
Untuk muncul sebagai pemenang dalam rally tersebut, seseorang mutlak memiliki Capability berupa kemampuan, ketrampilan, wawasan dan attitude, dimana semua itu hanya akan didapatkan bila ia memiliki fleksibilitas dan open-mindedness yang tinggi, serta willingness dan ability to learn yang kuat. Terlebih lagi bagi kita yang menerapkan ilmu psikologi dimana harus disadari bahwa ilmu psikologi bukanlah ilmu yang dapat berdiri sendiri, karena keterkaitannya yang erat dengan ilmu lain seperti sosiologi, statistik, manajemen dan masih banyak lagi. Karena alasan ini pula Saya menamakan organisasi yang Saya dirikan bersama rekan-rekan Saya sebagai “konsultan” bukan sebagai “biro psikologi” karena Saya dan tim harus mampu menjawab persoalan klien dengan beragam pendekatan ilmu.

Selain itu untuk menjadi pemenang rally, dibutuhkan Cooperativeness yang tinggi. Seorang entrepreneur bukanlah seorang single fighter, ia harus mampu menjadi partner, manager dan sekaligus leader yang baik, tidak hanya terhadap bawahannya tetapi juga terhadap begitu banyak associates atau partners yang umum digunakan dalam bisnis jasa konsultan. Dan tidak ketinggalan juga perlunya sikap kooperatif terhadap pelanggan atau klien, yang harus dijaga tingkat kepuasaannya demi terciptanya ripitasi hubungan bisnis, namun tetap dengan menjaga kode etik yang berlaku.

Dengan capability yang kuat maka kita akan mampu memahami lika-liku arena rally dan memiliki kemampuan untuk menaklukkannya. Dan untuk memenangkan rally dibutuhkan tim teknis yang andal, yang akan menyiapkan kendaraan yang ditumpangi mampu melaju kencang. Karena itu cooperativeness sangatlah dibutuhkan.


Karakter-karakter 4C tersebut tidak lain adalah soft dan hard competency yang sudah dibahas di awal tulisan ini. Mampukah lulusan Fakultas Psikologi UGM menjadi entrepreneur yang handal? Tantangannya adalah sebuah data yang menyebutkan bahwa orang Indonesia kurang suka berkompetisi. Data riset Ab Consultant menyimpulkan bahwa sejumlah 60% (dari 3000 responden riset yang dilakukan sejak 2008) suka berprestasi namun kurang suka berkompetisi*. Saya tidak memiliki data khusus tentang karakter lulusan Fakultas Psikologi UGM, namun meminjam data tracer study & labour market UGM tahun 2003* disebutkan bahwa lulusan UGM cenderung low profile yang menyebabkan karakternya kurang bisa menjual diri. Hal ini senada dengan temuan riset Ab Consultant di atas. Ini jelas merupakan hambatan karena keberanian berkompetisi termasuk menjual kemampuan diri merupakan faktor dasar yang harus dimiliki entrepreneur untuk dapat mengikuti rally sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep 4C.

Namun pepatah mengatakan tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar dan berubah. Lulusan Fakultas Psikologi UGM mungkin memang memiliki ciri khas low profile, dan hal itu menurut hemat Saya tidak harus dirubah secara drastis. Kita tidak mungkin merubah seekor ayam jantan untuk mampu terbang seperti seekor burung elang. Yang dapat dilakukan adalah mengarahkan bagaimana sikap low profile tersebut mampu disertai dengan keyakinan akan kemampuan diri. Untuk itu lulusan Fakultas Psikologi UGM harus menemukan personal brand-nya agar lebih percaya diri. Berdasarkan pengalaman di lapangan, Saya menyimpulkan bahwa seharusnya lulusan Fakultas Psikologi UGM dapat mengedepankan kemampuan pengolahan data statistik sebagai personal brand-nya. Tidak banyak lulusan Fakultas Psikologi lain yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tersebut. Sayangnya Saya melihat lulusan Fakultas Psikologi UGM seakan tidak tahu akan kelebihannya ini dan kalaupun mereka tahu akan hal tersebut, mereka bersikap kurang optimal dalam menunjukkannya.

Sebagai konsultan yang berbendera lokal Indonesia, Saya dan teman-teman di PT Asta Brata Swastika justru sangat mengedepankan pengetahuan dan kemampuan kami dalam hal statistik dan konstruksi tes, yang membuat kami mampu dipercaya dan dihargai oleh perusahaan-perusahaan asing dan mampu bersaing dengan worldwide consultant sekali pun. Dengan kemampuan itu Saya menjadi lebih nasionalis dalam berkarya, terpacu untuk terus menerus membuktikan bahwa konsultan Indonesia mampu menciptakan produk dan memberikan layanan berkualitas internasional. Jika Saya dan teman-teman di PT Asta Brata Swastika mampu melakukannya, Saya yakin lulusan Fakultas Psikologi UGM lainnya juga akan mampu melakukannya. The sky is the limit, kita harus yakin bahwa kita mampu terbang kemana pun kita mau.

Saya beserta rekan 86 lainnya yaitu: Eko Tjia, Clara Winarsih, Candra Mintara, Wiwin Prasetyo, Dani Prakoso dan beberapa lainnya merupakan salah satu contoh produk Fakultas Psikologi UGM yang mampu menjadi entrepreneur. Keberhasilan kami adalah juga berkat bekal dan tempaan karakter yang kami dapatkan selama hidup di Bulaksumur. Namun tentu saja banyak hal lain yang kami lakukan sendiri di luar bekal yang kami dapat tersebut. Hidup adalah proses belajar, di mana pun dan kapan pun.

Kembali ke pertanyaan sebelum ini tentang kapan sebaiknya seorang lulusan Fakultas Psikologi menjadi entrepreneur, Saya menyarankan untuk menjawabnya dengan kesiapan 4C yang dimiliki setiap lulusan. Untuk itu akan lebih baik bila sedari awal seorang mahasiswa Psikologi lebih proaktif menyiapkan diri untuk memiliki 4C dan dibantu disiapkan oleh Fakultas secara lebih sistematis menjadi seorang entrepreneur untuk menjawab tantangan bisnis saat ini yang makin cepat berubah.

Saya berharap tulisan ini mampu menjawab pertanyaan dan tantangan yang tertera dalam judul di atas. Sky is the limit, maka lulusan Psikologi pasti mampu menjadi entrepreneur yang berhasil, asalkan ia memiliki karakter 4C. The right character will define who we are!


Ditulis oleh:
Juni Wulan Dewi
Founder, Senior Consultant & Board of Directors member of
PT Asta Brata Swastika (Ab Consultant & Ab Publisher)
www.ab-cons.com


Sumber data (*):
· “Analisa Preferensi Kerja Manajer di Indonesia”, Riset & Pengembangan Ab Consultant-PT Asta Brata Swastika, 2011.
· Data BPS 2010
· “Model Mahasiswa Yang Berdaya Saing”, Alvin Fadila Helmi, Fakultas Psikolog UGM, 2004 (tentang data tracer study & labour market UGM).
· “Winning Spirit Model”, Sunu Triwidada, Ab Consultant-PT Asta Brata Swastika, 2011.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "TENTANG REUNI PERAK ITU (1)"

Post a Comment