JADI HOSTING FAMILY? HMMM… NANO-NANO RASANYA.


Membaca judul di atas, pertanyaan pertama yang muncul bagi pembaca yang awam adalah: apa itu HOSTING FAMILY? Ini adalah sebutan untuk keluarga Indonesia yang bersedia secara sukarela menjadi keluarga angkat bagi siswa hosting dari luar negeri untuk program pertukaran pelajar AFS.

Pertanyaan kedua adalah: apa maksudnya NANO-NANO? Tau kan permen bermerek Nano-nano yang kata banyak orang punya semua rasa (manis, asam, pedas, asin) yang sangat enak saat dikulum?  Hmmmm kurang lebih begitulah rasanya menjadi host family :)

Ups, kami lupa memperkenalkan diri. Tak kenal, maka tak sayang. Lagian kami bukan seleb yang semua pembaca blog ini kenal :). Perkenalkan kami adalah keluarga Sunu Triwidada. Sebuah keluarga yang sederhana tapi cool pastinya :), tinggal di Jatibening – Bekasi. Saat ini kami dalam masa akhir menyelesaikan tugas sebagai hosting family bagi seorang siswa hosting AFS dari JERMAN bernama BENJAMIN SKORUPA, biasa dipanggil Ben. Siswa hosting yang kalem ini tinggal bersama kami sejak akhir Agustus 2013 s/d Juli 2014 nanti.

Kembali ke rasa nano-nano yuk. Mengapa kami memilih kata nano-nano dalam menceritakan pengalaman kami sebagai hosting family? Karena pengalaman menjadi hosting family sangatlah BERWARNA, PENUH KEJUTAN DAN SANGAT MEMBEKAS. Nggak percaya? Yuk kita baca cerita kami di bawah ini.

AWAL “PERJODOHAN” DENGAN BENJAMIN SKORUPA

Jujur, awalnya kami tidak merencanakan menjadi host family di tahun 2013 lalu. Memang ada keinginan untuk menjadi host family, tapi tidaklah di tahun 2013. Kami merasa belum siap.

Ben adalah remaja Jerman yang sangat tertarik dengan Asia, dengan Thailand, Jepang dan Indonesia tentunya. Sayangnya saat itu Ben belum juga mendapatkan host family di Indonesia, di Chapter Karawang Memang TIDAK MUDAH MENDAPATKAN HOST FAMILY di Chapter Karawang tercinta ini. Kata orang menjadi host family itu sulit dan repot. Begitu banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan juga dibutuhkan keikhlasan dan ketulusan untuk menjadi host family, tidak hanya dari sudut meluangkan waktu dan memberikan kasih sayang namun juga biaya (untuk kehidupan sehari-hari termasuk sekolah).

Secara tidak sengaja kami membaca data Ben, dan entah mengapa begitu membaca data tersebut kami merasa terpanggil. Pada saat itu hati kami seakan berkata “ini anak kami”. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Yang jelas Ben bukanlah figur yang menonjol dan prestatif, bahkan sebaliknya Ben merupakan remaja dengan masalah Disleksia (memiliki kesulitan membaca walaupun ia memiliki IQ tinggi) yang membuat sebagian calon host family mundur.


Singkat kata kami memutuskan untuk mengajukan diri sebagai host family bagi Ben, dan diterima oleh Chapter Karawang. Terus rasa nano-nanonya dimana? Kapan itu muncul? Hmmm….semua rasa itu tersebar di semua fase saat kami menjadi hosting family.

FASE AWAL, APA RASANYA?

Seperti awalnya host family pada umumnya, fase awal adalah masa bulan madu bagi kami. Kok bisa? Ya…….yang kelihatan dan terasa adalah yang melulu manis dan baiknya. He he he ….. semua, baik host family maupun siswa hosting masih sama-sama jaim(jaga image). Kami masih berlaku seperti tuan rumah yang menerima tamu, bukan anggota keluarga sendiri. Yang ini rasanya manis seperti gula.

Memasuki bulan kedua-ketiga mulailah kami semua menunjukkan aslinya diri kami, memperlakukannya seperti anak sendiri bukan lagi tamu. Mencuci piring sendiri, menyiapkan masakan sendiri dan sebagainya. Tega ya? He he he tujuan program hosting adalah membuat siswa hosting memahami tidak hanya budaya tapi juga nilai-nilai yang dianut orang Indonesia, termasuk dalam keluarga. Jadilah mereka harus menjalani semua keseharian di keluarga kami seperti apa adanya. Nah mulai fase ini rasa yang muncul tidak hanya manis, tapi kadang juga asam atau kecut :).

Kenapa? Yaaaa karena di sinilah 2 kebiasaan, 2 budaya, 2 nilai hidup dan 2 rasa bertemu. Mulai dari kebiasaan mandi kudu dengan bath tubberalih ke ciduk, kebiasaan makan dengan garpu saja sekarang harus dengan sendok bahkan hanya dengan tangan, sampai kebiasaan pergi nyelonong tanpa pamit namun sekarang harus cium tangan orang tua dulu. Kadang nyambung, kadang tidak. Rasanya kadang manis, kadang kecut :).

KALAU FASE PERTENGAHAN, APA RASANYA?

Memasuki bulan-bulan pertengahan, aktivitas Ben makin menjadi-jadi. Di sekolah (SMA Global Prestasi, Bekasi) Ben tidak hanya belajar akademik, tapi juga mengikuti live-in program di Wonosobo, di sana Ben hidup di desa, belajar menjadi petani dan mengajar di sebuah SD. Kegiatan lain di sekolah adalah mengikuti klub taekwondo dan klub futsal, dengan sesekali ada jadwal pertandingan.


Di luar sekolah Ben rutin belajar menari tradisional dan belajar angklung di Sanggar Indra Kusuma, melakukan wawancara di radio Dakta, mengenal agama lain selain Katolik yang dipeluknya dengan mengunjungi pesantren di Indramayu, Pura di Bali dan Klenteng di Semarang, kunjungan ke berbagai situs/kegiatan budaya di berbagai kota (seperti Candi BorobudurSendratari Ramayana dll), melakukan kegiatan sosial (mendongeng di yayasan sosial mengikuti Festival Gerakan Indonesia Mengajar) dan tidak ketinggalan wisata alam Indonesia yang eksotis (BromoPadang dll). Total Ben mengunjungi 13 kota di 3 pulau yaitu Sumatera, Jawa dan Bali.


Di masa-masa ini kami sudah MELEBUR MENJADI 1 KELUARGA dengan nilai-nilai kehidupan Indonesia yang terus kami tanamkan pada diri Ben. Di saat ini Ben sudah otomatis terbiasa mencium tangan orang tua mana pun yang ia temui, mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia sehari-hari, menjadi doyan kue putu, makan lalapan dan sambel dengan tangan, hobi ngulek sambel rujak dll.

Ritme aktivitas yang makin menjadi-jadi tersebut tidak selalu berjalan mulus. Kelelahan fisik maupun psikologis Ben karena selalu disorot sebagai orang bule dengan berjibunnya Pekerjaan Rumah untuk belajar berbagai hal tentang Indonesia seakan menjadi tuntutan yang berat bagi Ben dan terkadang membuat Ben menjadi bosan, bete dan membutuhkan waktu menyendiri seperti umumnya remaja di Indonesia.

Kami sendiri sebagai orangtua, jujur kadang juga merasa tertekan dengan beban harus mendidik anak bule kami. Terlebih Ben menderita Disleksia yang membuatnya lebih lambat dari siswa hosting lainnya dalam belajar Bahasa Indonesia. Kami takut gagal. Takut salah. Takut di-complain orangtua kandung Ben. Takut ada kecelakaan dengan anak bule kami. Segala rasa takut memang mendera kami, sementara kami tetap punya tanggungjawab besar untuk anak-anak kandung kami.

Tapi setelah dipikir-pikir lagi semua itu hanya halusinasi ketakutan kami. Karena toh nyatanya justru kami mendapatkan SAHABAT BARU di ujung dunia lain. Orang tua kandung Ben menjadi sahabat baru kami, mempercayakan anaknya 1000% pada kami, tanpa complain secuil pun, justru rasa terima kasih yang tidak berujung yang mereka sampaikan pada kami.

Di sisi lain ada kalanya friksi pun muncul antara anak kandung kami dengan Ben. Wah nggak enak dong situasinya ya? Itu mungkin kesan yang muncul di benak pembaca. Hmmm….…tidak juga, bukannya dalam 1 keluarga adalah sangat lumrah terjadinya friksi antar anak? Pernahkah ada adik-kakak yang tidak pernah bertengkar? Itulah dinamika dalam keluarga bukan? Kadang akur, kadang berantem. Tapi yang tidak disangka-sangka ujung-ujungnya anak kandung kami justru menjadi tertular mau menekuni tari klasik Sunda berkat Ben. Ajaib......! Alhamdulillah sekali! Kami dapat BONUS TAK TERDUGA :). Dan di sinilah rasa manis dan kecut mulai bercampur dengan asin dan pedas. Makin nano-nano rasanya!


Masalah memang ada, tapi karena kami memandang diri Ben sebagai remaja, sebagai anak sendiri bukan sebagai tamu, sebagai anak yang masih berkembang dan sangat mungkin melakukan hal-hal yang terkadang mengesalkan bagi orang tua, maka Alhamdulillah semua rasa manis, kecut, asin sampai pedas pun kami lahap dengan nikmat. Mak nyuuuus. Justru melalui kehadiran Ben kami merasa makin kaya sebagai orang tua karena mendapatkan pelajaran untuk menjadi orang tua yang “lebih hebat” dari sebelumnya. Mengasuh Ben seakan menjadi SEKOLAH GRATIS tingkat PASCA SARJANA bagi kami sebagai orang tua.

Daaaan beruntung sekali kami berada di Chapter Karawang dimana para host family, volunteer dan pengurus begitu kompak saling mendukung. Dengan sabar dan nikmat kami melahap semua rasa nano-nano tersebut hingga walaupun tugas kami belum selesai kalau boleh sekarang ini kami beserta host fam lainnya bersombong hati karena kami terbukti mampu menghadapi beragam jenis anak dari beragam budaya. Sebuah buah yang manis bukan? :)

Oh dan lagi rasanya puas sekali bisa membentuk remaja Eropa menjadi ke-Indonesia-Indonesiaan, begitu kontras dengan kenyataan di lingkungan kita dimana justru banyak remaja Indonesia menjadi ke-Barat-baratan. Ha ha KESEMPATAN YANG LANGKA bukan?


FASE AKHIR, MASIH NANO-NANO RASANYA?

Memasuki bulan-bulan terakhir……..aaah rasanya makin tidak karuan. Manis, kecut, asin, pedas makin tercampur. Dan karena kami terlanjur dekat dengan Ben, rasanya tidak rela melepaskan Ben pulang ke Jerman, rasanya tidak mungkin menggunting foto Ben dari siluet foto keluarga kami yang begitu cantik di bawah ini (Ben nomor 2 dari kanan).

 
Ben yang sekarang MAHIR MENARI KLASIK SUNDA, LUMAYAN JAGO MAIN ANGKLUNG dan sudah jadi SOBATNYA ABANG OJEK harus segera kembali ke Jerman 1,5 bulan lagi. Hiks.... Ben pun begitu menikmati segala sesuatu tentang Indonesia, walaupun ia sangat tidak suka dengan nyamuk dan macet di Bekasi-Jakarta :), namun ia begitu cinta dengan Indonesia dengan segala realitanya yang berbeda dengan Jerman.

Rasa pedas yang kadang membuat mata berkaca-kaca makin sering muncul. Pertanyaan sendu yang mendayu pun mulai sering kami lontarkan: “Kalau nanti Ben pulang ke Jerman, lupa sama ayah dan ibu nggak?”, “Kalau nanti Ben sudah punya anak ceritakan ke mereka tentang Indonesia ya, nak”, “Kalau Ben menikah nanti, bulan madunya ke Bali saja ya nak, sekalian menengok kami”. Kalau, kalau dan kalau……………

Walaupun program ini belum berakhir, jika menengok ke belakang, Alhamdulilah kami rasa kami tidak hanya menjadi TUAN RUMAH INDONESIA yang baik bagi tamu dari Jerman bernama Ben ini, namun juga menjadi BAGIAN DARI HIDUP BEN YANG PENUH ARTI yang kami yakin tidak akan pernah terhapus dari memorinya, seperti yang Ben katakan pada kami bahwa sampai kapan pun ia akan MENGINGAT KAMI SEBAGAI KELUARGANYA sampai kapan pun ia akan MENGINGAT INDONESIA DENGAN MANIS.

Nah, sekarang bisa dibayangkan bagaimana rasa nano-nano kami rasakan selama menjadi hosting family?

MAUKAH MENJADI HOST FAMILY LAGI?

Hmmmm....... walaupun kami harus meluangkan waktu dan biaya rasanya kalau mempertimbangkan mak nyuuuus-nya rasa nano-nano dan hal-hal bermanfaat yaitu:
  • Dapat SEKOLAH GRATIS tingkat PASCA SARJANA sebagai orang tua yang hebat
  • Dapat BONUS TAK TERDUGA dimana kami sekeluarga justru menjadi lebih nasionalis dan mencintai budaya Indonesia
  • Dapat KESEMPATAN LANGKA membentuk remaja Barat menjadi begitu ke-Indonesia-an
Maka jika kami ditanya "Maukah menjadi host family lagi?", jawabnya singkat saja: mauuuuuu......! Bagaimana dengan pembaca?

Salam nano-nano dari kami,
Keluarga Sunu Triwidada
(Hosting family dari Benjamin Skorupa, AFS Jerman 2013-2014)

Catatan: perjalanan Ben di Indonesia dapat dilihat di blog http://hostingalbumofben.blogspot.com

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "JADI HOSTING FAMILY? HMMM… NANO-NANO RASANYA."

Post a Comment