Sebuah catatan untuk Sanggar Indra Kusuma

Beberapa hari yang lalu, saya tuliskan coretan di bawah ini atas permintaan mas Wisnu, Sanggar Indra Kusuma, sebagai salah satu bahan studi kasus tesis S2 mas Wisnu di Sekolah Tinggi Seni Bandung. Supaya coretan ini ga ilang gara2 laptop rusak, yuuuk di-upload di blog saja, disimpen di awang2 :)
-----------------------------------------

DATA PRIBADI
Nama                             : Benjamin Skorupa (Ben)
Tempat/Tanggal lahir    : Dusseldorf – Jerman, 6 November 1995
Kebangsaan                   : Jerman
Alamat di Indonesia      : Jatibening Estate A2/31, Pondok Gede, Bekasi
Sekolah di Indonesia     : SMA Global Prestasi, Kelas XI.
Blog                               : http://hostingalbumofben.blogspot.com

PROGRAM PERTUKARAN PELAJAR YANG DIIKUTI BENJAMIN
Benjamin mengikuti program pertukaran pelajar AFS yang merupakan program pertukaran pelajar tertua di dunia (www.afs.or.id). Indonesia mulai mengikuti program ini sejak 1956 sampai dengan saat ini. Benjamin datang ke Indonesia di akhir Agustus 2013 dan akan kembali ke Jerman di Juli 2014. Benjamin datang bersama 30 siswa dari berbagai Negara (Amerika Serikat, Thailand, Belanda, Belgia, Rusia, Argentina, Spanyol dll) yang disebar untuk tinggal di berbagai kota di Indonesia. Benjamin sendiri ditempatkan di kota Bekasi, tinggal bersama kami.

AKTIVITAS BENJAMIN
          Selama masa pertukaran pelajar ini Benjamin memiliki target untuk mempelajari budaya, nilai kehidupan dan segala aspek yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah mempelajari kesenian Indonesia, terkait dengan kekayaan seni Indonesia yang sangat beragam. Ini dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam belajar hidup dalam keluarga Indonesia, dalam belajar di sekolah formal sehari-hari dan banyak media lainnya.
Khusus untuk target mempelajari kesenian, selaku orangtua angkat Benjamin kami sejak awal berusaha mencarikan tempat yang sesuai bagi Benjamin untuk mempelajari kesenian Indonesia. Kami melakukan banyak eksplorasi untuk menemukan tempat yang tepat, dilihat dari berbagai aspek. Di luar faktor umum seperti kedekatan lokasi, faktor-faktor penting yang kami pertimbangkan adalah tempat belajar kesenian tersebut haruslah profesional dan syukur bila sudah berpengalaman mendidik orang asing.
Mengapa harus professional? Karena kami tidak hanya ingin Benjamin belajar mengenai kesenian namun juga kami ingin Benjamin melihat kecintaan dan keseriusan orang Indonesia dalam mempertahankan nilai-nilai budaya yang tercermin dalam kesenian Indonesia. Kami juga ingin Benjamin melihat bahwa melalui kesenian orang Indonesia bisa memiliki prestasi, bisa menghidupi dirinya.

PERJALANAN MENCARI TEMPAT BELAJAR SENI YANG COCOK
Awalnya kami membawa Benjamin ke sebuah sanggar bernama Jawa Jawi Java di Cilandak Jakarta Selatan. Jauh dari rumah kami, namun menarik karena memiliki rutinitas belajar gamelan Jawa. Namun mempertimbangkan aktivitas memainkan gamelan harus dibawakan secara kelompok dan membutuhkan begitu banyak alat sehingga tidak memungkinkan Benjamin menampilkannya di Jerman nanti, maka kami membatalkan proses belajar Benjamin di sana. Kami hanya membawanya untuk mencicipi memainkan gamelan 1-2 kali saja.
Kemudian kami mengeksplorasi Sanggar Saraswati, sebuah sanggar yang spesial mengajarkan tari Bali dan tambahannya adalah memainkan gamelan Bali. Lokasinya dekat dengan rumah dan terletak di sebuah Pura Hindu, yang mana memungkinkan Benjamin mendapatkan nuansa belajar yang unik. Dan Benjamin bisa membawa ketrampilan menari Bali ini untuk dipentaskan di mana pun. Namun sayangnya sanggar ini tidak menunjukkan keseriusan untuk mendidik Benjamin selaku siswa asing. Maaf kata semua siswa diperlakukan sama, seperti halnya sebuah sekolah yang terlalu banyak jumlah muridnya sehingga tidak memungkinkan untuk menyentuh anak didik secara personal. Walaupun sanggar ini memiliki nama besar, kami pun membatalkan mengirimkan Benjamin belajar ke sana. Sekali lagi, kami tidak hanya ingin Benjamin belajar seni, namun kami ingin Benjamin juga melihat keseriusan termasuk profesionalitas orang Indonesia mengelola kegiatan seni.
Kami pun kembali mengeksplorasi mencari sanggar seni yang memenuhi keinginan kami. Mencari informasi melalui internet menjadi andalan kami, dan sampailah kami pada informasi tentang Sanggar Indra Kusuma (SIK). Mulai dari membaca web SIK kami merasa tertarik. Jelas sekali apa saja yang ditawarkan. Kami pun menggali lebih dalam tentang SIK. Berbagai informasi terkumpul dan membuat kami makin tertarik. Ada kesan SIK tidak hanya dikenal namun juga punya cakupan jaringan yang luas. Kami menghubungi SIK melalui telpon terlebih dahulu, dan sambutannya begitu ramah dan kekeluargaan, yang membuat kami merasa belum-belum sudah terikat dengan SIK. Terlebih saat kami datang mengunjungi SIK pertama kalinya. Sambutan yang apa adanya namun sangat kekeluargaan membuat kami makin nyaman, termasuk Benjamin tentunya.Bicara prestasi, SIK tanpa harus dikorek menyuguhkan data tersebut di setiap sudut sanggarnya. Tidak hanya kekeluargaan, namun cara berkomunikasi kakak-kakak yang melatih di SIK menunjukkan keluasaan wawasan mereka, dan itu membuat kami termasuk Benjamin “nyambung” dengan mereka.
Singkat kata Benjamin pun mulai belajar menari di SIK. Jujur di awal kami masih mencoba, belum tentu Benjamin akan betah belajar menari karena ia sama sekali belum pernah menari. Ini adalah hal yang sangat baru baginya, dan perlu diketahui bahwa gerak badan Benjamin sangat kaku, seperti robot. Tidak bisa dibayangkan awalnya bila Benjamin akan mampu menari, tari klasik pula. Namun itulah kelebihan SIK. Kualitas pengajar tarinya tidak hanya mampu mengajar namun mampu mendidik dengan baik, sehingga Benjamin pun perlahan namun pasti mampu menari klasik Sunda.
Setelah melihat perkembangan di awal Benjamin belajar, kami akhirnya memantapkan diri untuk benar-benar mempercayakan Benjamin untuk dididik oleh SIK. Dan benar prediksi kami, bahwa Benjamin tidak hanya diajarkan gerakan-gerakan tari, namun Ben diberikan berbagai nasehat dan hal-hal lain seperti antara lain mengajarkan nilai hidup orang Indonesia, mengajarkan berbahasa Indonesia, memperluas wawasan Benjamin untuk melihat Sekolah Seni di Bandung dan lain-lain. Kami tidak pernah meminta hal tersebut dilakukan SIK, namun SIK memberikannya dengan ikhlas lebih dari kewajiban mereka. Kami selaku orang tua Benjamin merasa benar-benar mendapatkan partner sesungguhnya dalam mendidik Benjamin.
Apa yang kami lihat sangat positif dalam SIK tidak hanya tercermin dalam figur 1-2 orang saja. Semua figur dalam SIK menunjukkan sikap yang sama, kemampuan yang sama, walaupun masing-masing memiliki peran yang berbeda. Semakin lama kami mengenal  SIK semakin kami melihat bahwa SIK dibangun dengan visi yang jelas dan dikelola dengan serius dan baik serta persisten menghadapi banyak masalah yang umumnya ditemui sanggar lainnya. Kami sebenarnya memiliki latar belakang keluarga besar yang juga bergelut di dunia seni, dimana 2 uwak (paman) di Bandung adalah tokoh tari Sunda yaitu R. Yuyun Kusumahdinata dan R. Yayat Kusumahdinata. Keduanya memiliki kepiawaian dan dedikasi pada tari Sunda yang sudah tidak diragukan tidak lagi, dimana di jaman Ir Soekarno menjadi Presiden RI, keduanyalah yang dipercaya membawakan tarian Sunda bersama sanggarnya di Istana Presiden. Namun hal tersebut tidak berlanjut di era saat ini. Seakan semua itu menjadi suatu album kenangan manis karena tidak adanya penerus yang mendedikasikan hidupnya untuk seni tari Sunda sebagaimana kedua paman kami tersebut.
Di sisi lain justru aspek tersebutlah yang kami lihat ada pada SIK, dimana ada regenerasi yang berjalan baik sehingga SIK mampu bertahan sampai dengan sekarang dengan prestasi yang terjaga. Menilik lebih jauh mengapa regenerasi itu bisa berjalan, kami melihat bahwa pendiri SIK mampu menanamkan visinya dengan baik pada generasi kedua. Ini tampak dari equal-nya gambaran yang diberikan oleh kedua generasi tersebut saat berkomunikasi dengan kami. Tampak jelas bahwa semua pihak dalam SIK berada dalam 1 pihak yang sama, memiliki semangat yang sama, memiliki visi yang sama.  Jujur kami belum tahu apa yang dilakukan untuk menanamkan visi tersebut, namun tampak jelas respek dari generasi kedua terhadap generasi pertama atau pendiri SIK. Secara teoritis respek tersebut umumnya dibentuk oleh kemampuan generasi pertama untuk menjadi panutan dan untuk menyakinkan generasi kedua akan perlunya SIK untuk dipertahankan. Pola ini pula yang biasa kami lihat dalam beberapa perusahaan keluarga yang berhasil bertahan di Indonesia seperti salah satunya adalah Kalbe Farma Group yang merupakan klien kami dalam pekerjaan sehari-hari sebagai konsultan. Dan dibandingkan dengan pengalaman pribadi keluarga kami sebagai keluarga seniman, maka hal ini menjadi luar biasa, dan mungkin inilah yang membuat SIK menjadi seperti sekarang.
        SIK mungkin bukan sanggar yang tampil mewah secara penampilan fisik, namun dikelola dengan passion yang kuat akan kecintaan terhadap seni dan Indonesia, dikelola dengan profesional walaupun  mengandalkan anggota keluarga dan dikelola dengan spirit pelayanan yang kekeluargaan yang membuat konsumen menjadi seakan terikat secara emosional pada SIK.
Singkat kata bagi kami SIK adalah partner yang sangat baik dalam mendidik anak asuh kami dari Jerman untuk memahami seni tari dan musik tradisional Indonesia sekaligus menjadikannya contoh bahwa orang Indonesia mampu berprestasi di dunia internasional dengan menjalankan sanggar seni secara profesional. Benjamin akan mengingat SIK sebagai bagian dari memorinya yang manis tentang Indonesia yang akan dibaginya pada orang-orang di lingkungannya di Jerman nanti.

##############

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sebuah catatan untuk Sanggar Indra Kusuma"

Post a Comment